KATA, KONSEP, DAN REALITAS (Membedah Fakta, Mengungkap Makna, Merawat Akal)

KATA, KONSEP, DAN REALITAS (Membedah Fakta, Mengungkap Makna, Merawat Akal)*
Oleh Kasim Adam**

Setiap kata yang kita dapatkan dalam aktivitas kehidupan sehari hari baik lewat penglihatan dan juga pendengaran, pasti memiliki konsep atau makna dari kata-kata tersebut dan pada umumnya setiap konsep atau makna dari kata-kata tersebut pasti memiliki realitas sebagai acuan dari kata dan konsep tersebut.

Secara kata, tentu Al Fatihah tetaplah Al Fatihah dan Al Fatekah tetaplah Al Fatekah dengan arti yang melekat pada kata itu, problematika yang sedang dihadapi sekarang menurut saya adalah ada pada pemaknaanya terhadap kata kata tersebut.
Sebagaimana yang sedang ramai dibicarakan tentang kata Al Fatihah dan Al Fatekah oleh pak Joko Widodo, menurut al-Mu'jam al-Wasith kamus yang menjadi rujukan bahasa Arab yang cukup dianggap sangat repesentatif saat ini. Al-Fatihah yang bermakna pembuka atau pemenang atau pembebas dan Al-Fatika/al-Fateka bermakna kesewenangan atau pembunuh atau perusak atau pembinasa dll

Al Fatekah yang di sampaikan oleh pak Joko Widodo, apakah oleh pak Joko Widodo sendiri bermakna sebagai pembuka ataukah berarti kesewanangan?  Tentu untuk mendapatkan kebenarannya kita perlu melakukan konfirmasi terhadap penyampai kata tersebut untuk menjelaskan makna atau konsepnya sehingga sebagai penerima kata tersebut kita melakukan kekeliruan dalam pemaknaanya.

Kekhawatirannya adalah makna atau konsep yang disampaikan oleh penyampai pesan adalah sama maknanya sebagaimana yang kita maksud, hanya saja berbeda secara ungkapan atau dialek atau aksen. Dalam hal ini, jika makna al Fatekah yang dimaksud oleh penyampai pesan adalah pembuka, lantas mengapa kita seperti seakan memaksakan pemaknaan kita, pemahaman kita, konsepsi kita al fatekah sebagai kesewenangan, membunuh, dan arti kata lainnya kepada orang lain.

Secara pengucapan  bahasa, pada satu kata dalam perjalanannya mengalami perubahan kata dalam bentuk aksen atau dialek namun secara makna, ia tidak mengalami perubahan. Sebagaimana sering kita, pengucapan bahasa di Arab, Mesir, Iran, India, Cina dan juga Indonesia sering berbeda-beda. Sebagaimana disampaikan oleh pak Komaruddin Hidayat dalam salah satu komentarnya di facebook, menurutnya bagi orang Indonesia yg  belajar  Arab fushah, akan bingung ketika menginjak Mesir atau Palestina. Orang Indonesia perlu waktu bulanan untuk memahami bahasa mereka dalam pergaulan sehari-hari. Hal demikian bisa kita pahami jika kita mau mengkaji sejarah perkembangan dan peradaban Islam dalam perspektif antropologi Islam seperti disarankan oleh pak Budhy Munawar Rachman.

Dalam konteks Islam Indonesia, bisa telisik lewat sejarah masuknya Islam Indonesia. Salah seorang penyebar ajaran Islam dari Persia (Iran) Sayyid Muhammad Al Baqir lebih dikenal dengan nama Syaikh / Syekh Subakir atau beberapa kata kata lainnya seperti sekaten, atau dalam bahasa Madura, Baharudin menjadi Brodin, Ibrahim menjadi Brahem, Syafi'i menjadi Pi'i, astaghfirullah menjadi pora'alla sebagaimana dalam sebuah lagu yang cukup populer dan sejumlah kata lainnya yang apabila kata kata itu dicarikan artinya dalam bahasa Arab maka akan memiliki arti yang sangat jauh berbeda dengan makna dari kata-kata tersebut dalam perspektif masyarakat Indonesia.

Alkisah pada zaman Rasulullah ada sahabat yang melaporkan para sahabat lainnya yang keliru bacaan al-Qur'annya, lantas Rasulullah memanggil semua sahabat itu dan meminta diperdengarkan. Dan akhirnya, Rasulullah bersabda bahwa Al-Qur'an itu diturunkan pada dialek/aksen yang berbeda-beda. Sebanyak perbedaan aksen para sahabat yang hadir pada itu, dengan menekankan bahwa perbedaan aksen bacaan itu sepanjang tidak merubah pada makna subtansi / hakiki dari ayat Al-Qur'an tersebut.

Juga kita bisa belajar dari kisah Bilal bin Rabah, muazin di zaman Rasulullah Saaw. Bilal tidak fasih mengucapkan "hayya ala sholah" dan beberapa sahabat mengadu pada nabi dan mengajukan diri jadi penggantinya, tapi nabi menolak mereka dan menjawab bahwa dia (Bilal bin Rabah) walaupun dia tidak fasih dalam pengucapannya, setidaknya dia ikhlas mengerjakannya dan tidak seperti kalian yang fasih bacaannya tapi hanya cari muka dan ketenaran".
Artinya pada hari ini, kemungkinan masih bisa kita jumpai dan saksikan orang-orang yang kepribadian seperti Bilal bin Rabah dan para sahabat Rasulullah Saaw yang fasih dalam pengucapan namun tidak didasari dengan keikhlasan (suatu sikap tanpa pamrih dan hanya mengharap ridha Allah Swt semata) serta hanya untuk mencari muka (jabatan / kekuasaan) dan ketenaran.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita temukan orang dan sekelompok orang sering kali melakukan penilaian dan bahkan penghukuman kepada kelompok lainnya dengan menggunakan pemaknaan dan konsepsi yang dimiliki tanpa ada upaya untuk membangun suatu dialog terlebih dahulu, kehidupan umat beragama dan antar beragama yang awalnya hidup rukun, damai, harmoni dan penuh kasih sayang berubah menjadi wajah yang kasar dan bahkan menakutkan. Dalam hal tersebut Ahmad Wahib dalam catatan hariannya menuliskan tentang sumber utama intoleransi beragama diantara umat Islam di Indonesia umumnya disebabkan oleh pemahaman agama Islam oleh umatnya yang secara parsial, formalitas dan legalitas, frustrasi politik dan Umat Islam kekurangan pemimpin yang berkarakter dan bertanggungjawab.

Namun terlepas dari semua itu, lewat tulisan singkat ini penulis ingin mengajak pembaca agar mari kita bersama sama untuk mengembalikan setiap kata pada konsepnya, setiap konsep pada realitasnya dengan jalan dialog dan saling menghargai dan sebagai warga negara Indonesia pada umumnya serta umat Islam pada khususnya kita tetap belajar dan berdoa agar selalu menampilkan yang terbaik

Wallahu a'lam...

* Menyikapi fenomena perdebatan Al Fatihah dan Al Fatekah
* Penulis adalah Ketua BPL HMI KORWIL JATIM dan Koordinator Jaringan Aktifis Filsafat Islam (JAKFI) Malang

Komentar

  1. Terkait dengan langgam (cara kebiasaan pengucapan) yg terkadang ada kontradiksi pengertian dan makna, sama halnya perbedaan pola bahasa lokal Indonesia.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Paragraf terakhir bisa dijadikan sebagai kesimpulan

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer