HMI DAN POLITIK PRAKTIS, MELURUSKAN ARAH PERJUANGAN HMI

HMI dan Politik, Meluruskan Arah Perjuangan HMI
(Kritik Nalar Politik Praktis Respiratori Saddam Al Jihad)
Oleh Kasim Adam (Ketua BPL HMI KORWIL JATIM)



Ditengah perjalanan bangsa Indonesia menyambut tahun politik di 2019, berbagai persoalan yang menimpa bangsa Indonesia seperti isu korupsi, isu kenaikan bbm, isu perampasan tanah, isu politik identitas, isu gempa Lombok , isu kenaikan dolar dan lainnya yang menimbulkan respon yang beraneka ragam dari berbagai elemen bangsa mulai dari para elit politik yang ada di Jakarta sampai pada obrolan warung oleh para aktivis mahasiswa serta para pedagang kaki lima.

HMI sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia ikut meresponnya baik dari tingkat komisarist, cabang maupun PB HMI. Ditingkat komisariat dan cabang, gelombang respon dilakukan ditingkat komisarist dan cabang dengan melakukan penggalangan dukungan untuk membangun suatu persepsi bersama tentang persoalan yang sedang melanda bangsa Indonesia dalam bentuk kajian dan juga pembacaan sampai pada gerakan aksi massa turun jalan. Berbagai isu dilontarkan untuk perbaikan bangsa Indonesia dalam hal ini kritik terhadap rezim hari ini yang bahkan sampai ada yang memberikan raport merah terhadap kinerja pemerintah.

Ditengah tingginya partisipasi kader HMI dalam menyikapi persoalan kebangsaan dan keumatan dalam bentuk aksi massa, muncullah statemen dari Respiratori Saddam Al Jihad selaku ketua Umum PB HMI tentang politik praktis.

Dari pernyataan tentang aksi aksi yang dilakukan oleh kader HMI baik ditingkat komisarist dan cabang, kita seakan menemukan perbedaan pandangan dan sikap yang dilakukan oleh ketua umum PB HMI, disini lain mengatakan untuk mengawal politik dan disisi lain melarangnya, beberapa pernyataan yang menurut penulis sangat kontroversial dan perlu ada pertanggungjawaban intelektual bahkan spiritual terhadap pernyataan - pernyataan tersebut, beberapa pertanyaan itu sebagaimana tersebar di media massa diantaranya kekhawatiran HMI masuk dalam politik praktis, bahkan dalam satu media massa disebutkan bahwa HMI tidak mengenal politik praktis sampai pada ancaman untuk memberikan sanksi bagi kader kader yang terlibat politik praktis.

Awalnya penulis tidak percaya akan berita yang tersebar lewat media massa karena sebagai seorang ketua umum organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua di Indonesia yang pada kongres ke 30 di Ambon menang secara aklamasi mengeluarkan pendapat yang demikian, pernyataan yang penulis anggap menunjukkan kekerdilan cara berpikir serta mengerdilkan kemampuan HMI dalam melahirkan gagasan untuk perbaikan persoalan keumatan dan kebangsaan.

Pada momentum pelantikan pengurus HMI, KOHATI dan BPL Cabang Malang, ketua umum HMI Respiratori kembali menegaskan hal demikian, ia menyerukan kepada kader HMI dan pengurus HMI Cabang Malang untuk fokus kaderisasi. Ia mengatakan bahwa "Tantangan kita saat ini adalah mengawal perkaderan dengan slogan kaderisasi Yes, Politik No,  dia juga menambahkan bahwa simbol kebesaran kader HMI itu adalah intelektualisme, maka kader HMI harus memperkuat basis kedisiplinan ilmunya masing-masing”. Dari penglihatan dan pendengaran secara langsung tersebut, penulis menyimpulkan bahwa ada semacam pemaksaan pemahaman politik yang sempit dari Ketua umum kepada kader HMI.

Disisi lain, ajakan untuk mengawal perkaderan tidak didukung dengan komitmen dari ketua umum untuk menyelesaikan pedoman perkaderan yang akan digunakan sebagai panduan bagi kader hmi di tingkat komisariat dan cabang untuk menjalankan roda organisasi hal ini terbukti sejak selesainya kongres di Ambon sampai pelantikan PB HMI serta pelantikan pengurus HMI,  KOHATI  dan BPL cabang Malang pedoman perkaderan hasil kongres Ambon belum juga disosialisasikan.

Belum lagi pedoman perkaderan hasil kongres Pekanbaru untuk pelaksanaannya mengharuskan ada pilot projek dari PB HMI dalam pelaksanaannya hal itu dikarenakan ada perubahan yang mendasar dari pedoman perkaderan sebelum yang menggunakan jargon MUSLIM INTELEKTUAL PROFESIONAL menjadi MUSLIM INTELGENSIA. Bahkan pernyataan bahwa simbol kebesaran HMI adalah intelektualisme menunjukkan bahwa ketua umum tidak memahami secara untuk tentang pedoman perkaderan serta dinamika yang terjadi didalamnya. Atas dasar itulah, dalam menyambut kehadiran ketum PB HMI di Malang, penulis memberikan 7 tuntutan salah satunya adalah menuntaskan persoalan pedoman perkaderan dan mensosialisasikannya.

Sejak dahulu dalam kajian filsafat, terutamanya filsafat Islam dibagi menjadi dua yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis adalah ilmu tentang keberadaan, berbicara tentang maujud sesuatu sebagaimana adanya atau sebagaimana hakikatnya sedangkan filsafat praktis adalah pengetahuan tentang perilaku ikhtiar manusia,  filsafat praktis berbicara tentang sesuatu sebagaimana seharusnya, tentang bagaimana baiknya dia juga tentang apa yang mesti dilakukan. Sederhananya Filsafat praktis berbicara tentang sesuatu yang boleh dan tidak boleh. Dalam filsafat praktis itulah dibagi lagi menjadi ilmu yang mengatur tentang akhlak, ilmu tentang rumah tangga dan juga politik.

Dalam klasifikasi yang diajukan oleh para filsuf muslim, seperti para filsuf lainnya Sadr al-Din Al- Syirazi atau yang lebih terkenal dengan Mulla Shadra, salah salah filsuf besar Islam mengelompokkan politik menjadi praktis dan teoritis. Bagi Mulla Shadra, filsafat teoritis berakhir pada transformasi jiwa manusia menuju bentuk eksistensi dan gerak jiwa ke alam intelektual sebagai alam objektif. Artinya dalam pelaksanaan konsep politik atau dalam praktiknya (praktis) mustahil tidak memiliki konsep atau wilayah teoritis. Sebagaimana ungkapan yang terkenal dari Rasulullah Saaw bahwa ilmu tanpa amal adalah dosa, demikian juga amal tanpa ilmu.

Secara umum politik praktis dipahami sebagai semua kegiatan politik yang berhubungan langsung dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dan jika kekuatan HMI dalam proses perkaderan adalah melahirkan intelektual (insan cita untuk masyarakat cita) lantas mengapa HMI tidak melakukan suatu upaya pendefenisian ulang (redefenisi) dan bahkan rekonstruksi terhadap definisi politik praktis yang sudah sekian lama menghegemoni pemikiran mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Artinya setiap aktivitas dan gerak juang Kader HMI mulai dari membaca berdiskusi mengatur strategi  sampai pada aksi turun jalan adalah bagian dari proses untuk mengawal cita-cita HMI itu sendiri. Dan kalaupun politik praktis adalah sebagaimana pengertian umumnya yang dipahami umumnya sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan, lantas mengapa ketua umum PB HMI melarang kadernya untuk melakukan kegiatan politik praktis?  Bukankah pada faktanya pelaksanaan politik praktis itu sering dilaksanakan oleh setiap kader HMI pada momentum pemilihan ketua umum HMI baik ditingkat komisariat, cabang dan bahkan pemilihan ketua umum PB HMI. Artinya pelarangan aktivitas politik praktis oleh ketua umum PB HMI kepada kader kader HMI adalah suatu pengkhianatan intelektual.

Juga menuduh bahwa aksi aksi yang dilakukan oleh kader HMI sebagai bagian tunggangn kepentingan oleh beberapa pihak, tentulah tidak berdasar apalagi kita mau melihatnya dalam perspektif manajemen aksi, artinya kesadaran kader HMI yang turun ke jalan tidaklah serta merta tanpa adanya pembacaan terhadap fenomena kebangsaan terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia. Kesadaran akan beberapa persoalan yang sedang dihadapi bangsa itulah yang membuat kader kader HMI kembali turun ke jalan untuk menyatakan sikapnya juga kesadaran itu bisa merupakan hasil dari proses pembacaan, pemahaman dan pendalaman terhadap Nilai Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagaimana yang tertulis dalam bab kesimpulan dan penutup "Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan
melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan
ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar
kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan
kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan.
Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat
manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah
adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat
satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap
yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi
kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti
jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau
golongan lain.

Karena menurut penulis, Politik adalah jalan untuk meraih kebijakan dengan kebijaksanaan.


Wallahu'alam bi sawwab

Komentar

  1. Apakah ini isu? Yg sengaja digulirkan, atau hanya sebatas pemikiran tanpa ada validasi, atau hanya curhatan hati kader mengenai Gundah gulananya menjadi kader HMI.

    BalasHapus
  2. Sudah bukan lagi zamannya turun jalan, atau kalau tidak HmI disebut sebagai kelompok Fundamentalis yg saat aksi dijalanan tidak jauh beda dengan aksi yg dilakukan LSM.
    Model seperti ini harus mulai digeser dari yg hanya teriak teriak menjadi yg lebih halus

    BalasHapus
  3. namanya saja orang khawatir, ya boleh boleh saja, apalagi seorang ketua umum, wajib mengingatkan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer